Senin, 11 September 2017

CERITA MOTIVASI

    
            Hey, Kembalilah Menulis


Akibat bergadang membaca secara maraton novel-novel yang belum sempat kubaca, pagi ini kedua kelopak mataku sama beratnya seperti sekarung beras. Aku tiba di sekolahku, SMA Gema Kreasi Bangsa, pukul tujuh kurang lima menit. Kedua kakiku mengaprit selekas kilat menuju ke kelasku, XI IPA2
“Pagi, Dev, kok tumben datang jam segini?” teman semejaku, Ferdi, bersuara ketika aku menaruh tas di atas kursi dan hendak duduk.
Aku hanya mengedikkan bahu merespons ucapannya.
Enggan menyerah karena ingin menuntut jawaban dariku, Ferdi berkata lagi, “Semalam kamu bergadang menulis cerita baru, ya? Wah, upload, dong, di akun Wattpadmu, pasti banyak yang suka sama tulisanmu, Dev.”
Lagi-lagi hal ini. Kenapa, sih, cowok itu selalu berusaha membuatku kembali menekuni hobi menulisku? Sesuatu yang kini kutanggalkan dengan kejengahan.
Aku tak menggubris, hingga Pak Raden, guru Matematika kami, masuk ke dalam kelas dan memulai pelajaran.

Tidak ada hal yang membuatku kesal setengah mati selain mendapati ketiadaan pembaca pada cerita yang kupublikasikan di akun Wattpad. Aku gemar menulis. Entah itu puisi, cerpen, novelet, bahkan novel. Pembaca yang nihil mengakibatkanku tak lagi mau menulis. Sepertinya, tulisan-tulisanku kelewat receh sehingga orang-orang enggan membacanya. Masa bodohlah, aku sudah muak dengan itu semua!
“Kamu kenapa tidak menulis lagi, Nak?” tanya ibuku pada suatu hari.
“Ah … aku lelah, Bu. Sudah bersusah-payah menulis berlembar-lembar cerita, tapi tidak ada yang membacanya. Sepertinya tulisanku memang jelek, Bu. Aku tidak berbakat untuk itu.”
Ibu hanya tersenyum lembut seraya mengelus kepalaku.
Kemudian beliau berujar sarat makna, “Itu hanya masalah kecil dalam menjalani sebuah hobi, Devi. Masalah sebenarnya yang lebih besar bukanlah hal tersebut, tapi bagaimana kamu mampu untuk tetap menjalani kegemaranmu dalam menulis, walaupun orang lain belum bisa mengenal tulisan-tulisanmu secara luas. Setiap hal butuh proses, Nak.”

Aku lelah dengan sikap Ferdi. Cowok itu tak henti merongrongiku agar kembali menulis. Berulang kali aku mengatakan padanya kalau aku tidak berbakat sama sekali pada bidang itu dan tak mau meneruskannya, tapi Ferdi tidak peduli.
“Jangan berhenti secepat ini, dong, Dev,” katanya saat kami berdua saja di kelas, mengerjakan tugas makalah bahasa. “Kamu itu berbakat. Buktinya, kamu bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang beragam, mulai dari puisi yang menurutku indah diksinya, cerpen dan cerbung yang alurnya tidak klise, ditambah—”
“Aku lelah, Fer,” selaku seraya menutup laptop dengan kasar, mataku menatapnya nyalang. “Kenapa kamu begitu keras kepala? Toh, berhentinya aku melakukan hobi tidak merugikanmu sama sekali, ‘kan? Memangnya apa masalahmu kalau aku tidak lagi menulis?” Nada suaraku naik belasan laras.
Ferdi bungkam, bagai kehilangan kemampuan berbahasa. Lalu, aku keluar dari kelas dengan tangis yang tahu-tahu saja pecah. Meninggalkan Ferdi sendirian di kelas.

Rasa bosan menyelimutiku yang seharian menghabiskan waktu hanya dengan berdekam di kamar, membaca novel-novelku tanpa minat sama sekali. Liburan sekolah kuhabiskan tanpa arti. Dulu, liburanku tak pernah terasa membosankan ketika masih aktif menulis. Namun sekarang, gairah hidup bak menguap bersama keputusanku untuk berhenti menekuni hobi.
Sekadar upaya menghilangkan jenuh, aku membuka laptop. Berselancar ria dalam dunia maya. Aku membuka bergantian semua media sosial yang kumiliki. Hingga satu pesan belum terbaca pada akun email membuat mataku membelalak kaget.
Penerbit Aksara Literasi mengirimiku pesan yang berisi persetujuan untuk menerbitkan salah satu novel yang sempat kutulis dulu. Pihak penerbit memintaku untuk datang ke redaksi dalam waktu dekat, agar bisa membicarakannya lebih lanjut.
Tubuhku terpaku, tak mampu bergerak barang sejengkal pun.

“Ceritamu bagus sekali, Dev. Aku sampai terbawa perasaan macam-macam saat membacanya,” ujar Dian, salah seorang teman sekelasku. Ia menyodorkan sebuah buku dengan cover yang amat kukenali. Ya, itu buku hasil tulisanku. Novel pertamaku.
“Terima kasih, Di.” Aku menandatangani laman awal buku tersebut, lalu mengangsurkannya kembali pada Dian.
Cewek itu menyelipkan ucapan terima kasih padaku sebelum berlalu dengan seulas senyum manis.

“Aku juga mau minta tandatanganmu, dong.”
Kepalaku menoleh ke samping, mendapati Ferdi berdiri dengan senyum terpeta.
Aku berdiri dari tempat dudukku, lalu bergerak cepat ke arahnya, memeluk tubuhnya.
“Kok kamu nangis?” tanyanya saat sadar aku terisak lirih.
Kami mengurai pelukan, lalu aku berucap, “Terima kasih banyak, Fer. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku akan kehilangan motivasi untuk kembali menulis. Terima kasih.”

Ya, Ferdi-lah yang mengirimkan naskahku ke penerbit waktu itu. Setelah aku meninggalkannya di kelas dengan laptop masih teronggok di atas meja, ia mengakses akun emailku dan sengaja mengirimkan salah satu naskah novelku kepada penerbit.
Akhirnya, novelku berhasil diterbitkan. Sambutan yang kudapat juga mengejutkan. Banyak pembaca yang memuji tulisanku dan membuatnya meraih kategori best-seller dalam waktu singkat. Berkat itu semua, aku kembali pada hobiku: menulis.
Ucapanku tadi mengudara ringan karena Ferdi tak meresponsnya. Ia hanya tersenyum lalu menggandeng tanganku, mengajakku keluar dari kelas.
Senyumku terukir indah. Dan aku yakin, Ferdi pun demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penembak Jitu Indonesia

Foto: Syahdan Alamsyah Sukabumi - Dua kal...